Breaking News

Kemerdekaan Dalam Ekspresi Kebebasan Setiap Warga Bangsa

 Jacob Ereste :


Ilustrasi


PEWARTA WARGA - BANTEM -Kritik, saran atau pun sanggahan dan penolakan atas suatu ide atau gagasan maupun hasil kerja yang telah diwujudkan demi dan untuk kepentingan orang banyak, pantas dan patut dikritisi. Apalagi kebijakan atau pekerjaan yang telah menghasilkan suatu karya nyata itu demi dan untuk orang banyak. Utamanya adalah kebijakan atau buah karya pejabat publik yang harus menjalankan tugas dan kewajibannya sesuai dengan amanah atau aspirasi masyarakat.


Kesemena-menaan pejabat publik dalam menjalankan tugas dan fungsinya, tentu saja tidak boleh bertentangan -- atau bahkan -- tidak sesuai dengan amanah rakyat yang selalu diminta berpegang pada janji Proklamasi Bangsa Indonesia seperti yang terurai pada pembukaan UUD 1945 dan pelaksanaannya harus  berpedoman kepada pasal-pasal yang ada dalam UUD 1945 itu dan Pancasila yang telah disepakati juga sebagai falsafah bangsa dan ideologi negara.


Seyogyanya, pejabat publik patut memberi penghargaan kepada partisipasi aktif warga masyarakat memberi pandangan, pendapat, usulan, ketitik bahkan kecaman terhadap sikap dan perilaku serta kebijakan dari segenap pejabat publik yang tidak becus, tidak sesuai dengan tugas dan kewajiban sebagai pejabat publik -- yang juga harus memberi contoh, tauladan dan panutan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak boleh sedikitpun mengedepankan sikap sebagai penguasa. Sebab negeri ini bukan milik pribadi pejabat publik yang tengah mendapat kepercayaan untuk mengurus segala sesuatu yang menjadi kebutuhan serta keperluan bersama.


Alih-alih memberi  penghargaan, apresiasi, insentif atau sejenis honoraria kepada para aktivis yang mencurahkan perhatian atas rasa kepeduliannya untuk dan demi kepentingan bersama orang banyak, justru perlakuan represif, tekanan, intimidasi dan sejenisnya itu sungguh tidak pantas dan tidak patut dilakukan oleh seorang pejabat publik -- apalagi untuk mereka yang dapat disebut pemimpin -- yang sepatutnya mengabdikan diri kepada rakyat.


Hakikat bagi seseorang yang bisa disebut sebagai abdi negara, sesungguhnya sangat mulia dan terhormat. Karena semua kebijakan, keputusan dan perbuatan yang dilakukannya harus senantiasa berpedoman pada segenap dedikasinya yang diperuntukkan bagi bagi negara dan bisa dinikmati oleh segenap warga bangsa yang ada. Karenanya, untuk mengistimewakan diri sendiri, keluarga, kelompok, geng yang bisa katakan nepotis itu sungguh tercela dan patut dicerca.


Upaya Ricky Gerung untuk mencerdaskan cara berpikir warga masyarakat -- sebagai bagian dari tanggung jawab moral sosial -- sepatutnya dapat diterima dengan lapang dada, hati yang bersih serta kejujuran untuk mencernanya sebagai asupan yang sehat. Toh, nilai kebenaran, kejujuran dan keikhlasan akan senantiasa mendapat penilaian publik yang obyektif, apakah yang dilontarkan Rocky Gerung itu sebagai pencerahan, atau sekedar hasutan dan cercaan belaka.


Yang terpenting, dari semua bentuk dan ragam persoalan bangsa dan negara kita yang menjadi topik bahasannya tetap memberikan solusi dan cara mengatasinya dengan baik dan bijak, mengapa tidak mesti diterima dengan besar hati dan sikap yang jujur pula. Jika pun hari ini masih ada kesangsian terhadap sejumlah hipotesis yang diuraikannya, toh kelak sang waktu pun akan membuktikan kebenaran atau kekeliruan yang mungkin tidak kalah dungu dari apa yang acap diucapkannya.


Agaknya, akibat dari ikim budaya dalam cara berpikir yang tajam merobek langit itu, maka apa yang disampaikan filsuf Rocky Gerung seperti membuat banyak orang jadi merasa jantungan. Padahal, cara berpikir yang tajam dan cerdas memecah batu cadas cakrawala wawasan banyak orang, wajar saja kiranya masih ada yang menatapnya dengan terbelalak. Setidaknya, dalam cara memahami kehadiran Satrio Piningit itu, tidaklah harus dalam sosok seorang pemimpin politik, tapi sangat mungkin dalam pengertian budaya, agama atau filsafat. Sebab dari habitat ekonomi dan politik, tampaknya sudah terlanjur basah kuyup berpikir dengan bilangan-bilangan untung dan rugi semata. Sebab iklim kapitalistik sudah  menjadi darah dalam setiap degub jantung sebagian besar warga bangsa kita. Dalam prakteknya, begitulah  aksesoris yang selalu menghiasi bulan proklamasi di negeri kita, bukan merenungkan arti dari hakikat kemerdekaan yang sejati. Sekedar hura-hura dan pencitraan belaka.(red)


Banten, 1 Agustus 2023

0 Komentar

© Copyright 2022 - citizenjournalists