Jacob Ereste
Pewarta Warga - Banten,Pada tahapan tertentu, laku spiritual itu, kata Sri Eko Sriyanto Galgendu, hanya bisa dilakukan atas keinginan hati, bukan lagi atas kendali maupun keinginan otak. Itulah kiranya yang dari apa yang dimaksudkan oleh para spiritualis cara berpikir yang memakai mata hati. Sehingga bisikan hati menjadi pegangan atau bahkan sebagai pengendali dari segenap akal Budi manusia. Dalam laku spiritual pada level ini bagi para kaum spiritualis sudah berada pada tahapan tertentu, dimana tahapan sebelumnya sudah dilalui dengan beragam pengalaman spiritual yang memang tak gampang untuk dilakukan.
Berpikir dengan hati itu, bisa dipahami dalam konteks membuat keputusan lalu menjalaninya atas dasar bisikan atau petunjuk hati. Karena itu wajar, banyak hal yang dilakukan oleh para spiritualis sulit untuk dipahami oleh akal.
Seperti pengertian dan pemahaman terhadap manajemen wangsit, karena segala sesuatu perencanaan hingga pelaksanaan ide yang ada di dalam otak dikendalikan sepenuhnya oleh hati. Atau naluri. Sementara otak hanya bekerja untuk hal-,hal teknis dalam proses pelaksanaan suatu gagasan sampai menghasilkan sesuatu yang tidak lagi terlalu penting dibanding proses pelaksanaannya yang berada dalam suasana ritual yang sakral, sehingga memiliki getaran rasa spiritual yang kuat.
Data tangkap vibrasi spiritual itu pun hanya bisa ditangkap dalam frekuensi tertentu yang tidak juga dimiliki oleh banyak orang. Mata itu, getaran spiritual hanya dapat dirasakan -- atau lebih tepatnya ditangkap -- oleh mereka yang memiliki gelombang spiritual juga, meski tidak harus selevel antara yang satu dengan yang lain.
Mata hati dan mata batin itu seperti dua sisi mata uang yang memiliki tampilan yang berbeda. Karena itu, mata hati dan mata batin tidak bisa dipisahkan. Keduanya merupakan kesatuan yang saling melengkapi antara yang satu dengan yang lain. Pada posisi manusia yang selalu berada dalam kisaran hati dan batin yang terjaga dan bersih, maka segenap hasrat dan tingkah laku serta perbuatan yang dilakukannya selalu berada dalam pengawasan dan bimbingan mata hati dan mata batin -- bukan otak -- yang penuh dengan ambisi yang liar, tamak, rakus, pongah dan sombong untuk menguasai dan memiliki berbagai hal, bukan saja yang bersifat material semara, tetapi juga kekuasaan yang membungkus mata hati dan mata batin yang dia miliki. Sehingga buta -- membabi buta -- untuk memiliki dan menguasai banyak hal, hingga tak perduli atas kepemilikan dan kekuasaan orang lain.
Orientasi kekuasaan yang semakin tampak nyata terlihat menjelang Pemilu (Pemilihan Umum} Presiden maupun calon anggota legislatif di semua jenjang dan tempat, nyaris tidak ada satu pun yang berbicara tentang missi dan visi, kecuali hasrat untuk tampil lebih wah, sehingga bisa memikat pemilih, meski dengan cara memanipulasi dan curang, bukan saja untuk merebut simpati pendukung agar bisa mendulang suara pemilih, tetapi menyerang mereka yang dianggap rival dengan berbagai cara dan tipu daya yang busuk.
Dalam kondisi sepert itu, lantas bagaimana dengan pemahaman serta kesadaran Ikhwal sosok seorang pemimpin atau pejabat publik yang sejatinya harus dan wajib melakukan pelayanan, perlindungan dan pengamanan terhadap warga masyarakat yang harus dan wajib dia pimpin -- dalam diarahkan -- agar dapat berada pada kondisi dan situasi yang lebih baik. Nyaman, adem ayem dan sejahtera. Artinya, orientasi dan pemahaman terhadap makna pengabdian perlu ditelaah ulang. Sebab maknanya Pemilihan Presiden dan Pemilihan Calon Legislatif pada Pemilu 2024 berarti hanya orientasinya hanya untuk kekuasaan belaka.
Dalam kondisi dan situasi Indonesia yang sulit dan rumit seperti itulah, GMRI (Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia) memilih jalan pergerakan untuk kebangkitan dan kesadaran spiritual bangsa untuk negara dengan motor penggerak utamanya Sri Eko Sriyanto Galgendu sejak tahun 2000 - 2013 dan dapat lebih efektif terarah pada tahun 2019 hingga terbentuknya Posko Negarawan yang menjadi motor penggerak Forum Negarawan dengan harapan mampu mendorong lahirnya tokoh negarawan yang memiliki kapasitas kepemimpinan yang kuat berbasis spiritual untuk memimpin negara dan bangsa Indonesia memasuki peradaban dunia baru. Hingga bangsa dan negara Indonesia mampu menjadi pemimpin, tauladan serta perubahan yang lebih baik dan lebih beradab bagi seluruh bangsa-bangsa di dunia.*red*
0 Komentar